Rabu, 13 Juni 2012

KEKAYAAN JIWA


“Tidak disebut kaya karena banyak hartanya tetapi yang disebut kaya (yang sebenarnya) adalah kekayaan jiwa.” (HR. Bukhari dan Muslim)

K
arakter macam inilah yang dibangun oleh Rasulullah kepada para sahabatnya, sehingga tidak mudah bagi mereka untk menengadahkan tangan, meminta-minta bantuan orang lain, sekalipun mereka dalam kesusahan. Abdurahman bin Auf adalah salah satu contohnya. Memang, beliau adalah termasuk salah satu sahabat yang kaya raya.
Namun perlu diperhatikan, ketika beliau hijrah ke Madinah, kekayaan yang dimilikinya ditinggal ke Mekkah. Setibanya beliau di Madinah, kemudian Rasulullah mempersaudarakannya dengan salah satu sahabat Anshor, Sa’ad bin Ar-Rabi’. Ketika itulah terlihat betapa Abdurrahman termasuk tipe orang yang tidak ingin merepotkan orang lain dengan cara manerima segala apa yang ditawarkan kepadanya.
Saat itu, saudara Anshor tersebut mamberinya tawaran agar Abdurrahman sudi menerima sebagian harta yang saudara Anshornya miliki, termasuk salah satu istrinya, apabila Abdurrahman berkenan.
Namun apa yang dilakukan oleh sahabat mulia ini, beliau menolak dengan halus, dan meminta agar ditunjukkan pasar. Dengan kemahirannya dalam berniaga, akhirnya beliau mampu memperoleh apa yang pernah ia rasakan sebelum berhijarah, yaitu harta yang berlimpah ruah.
Perilaku yang tidak jauh berbeda, juga ditunjukkan oleh para sahabat muhajirin lainnya, ketika memperoleh tawaran dari saudara-saudara mereka, sahabat-sahabat Anshor. Karenanya, menanamkan konsep bahwa “tangan diatas itu lebih baik daripada tangan di bawah” setelah memiliki jiwa wirausaha, merupakan sesuatu yang sangat urgen dalam meninggalakn kebiasaan meminta-minta.



Sumber :
Majalah Muzakki edisi Oktober 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar